Minggu, 24 Februari 2013

Mikroorganisme dan produknya



BMC – Secara umum, bioteknologidikelompokkan menjadi dua jenis, yakni bioteknologi konvensional (sederhana) dan bioteknologi modern. Bioteknologi konvensional menggunakan penerapan-penerapan biologi, biokimia, atau rekayasa masih dalam tingkat yang terbatas. Sedangkan Bioteknologi modern telah menggunakan teknik rekayasa tingkat tinggi dan terarah sehingga hasilnya dapat dikendalikan dengan baik. Teknik yang sering digunakan saat ini adalah dengan melakukan manipulasi genetik pada suatu jasad hidup secara terarah sehingga diperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Pada bidang bioteknologi konvensional, sebagian besar didominasi oleh produk makanan. Berikut ini saya telah rangkumkan daftar mikroorganisme dan produk yang dihasilkan. Daftar berikut merupakan campuran berbagai jenis mikroorganisme jamur dan bakteri. Kolom bahan yang kosong itu berarti saya belum memperoleh informasi. Kalau ada masukan boleh kasih komentar di sini.
Mikroorganisme
Bahan
Produk
Bakteri
Lactobacillus bulgaricus
Lactobacillus subtilis
susuyoghurt
Penicillium requorti
Penicillium camemberti
Propiobacterium
Streptococcus thermophilus
susumenghasilkan aroma khas keju dan menambah keasaman
Lactobacillussusukeju
Leuconostoc cremorismentega
Acetobacter xylinumair kelapanata de cocco
Acetobacter aceticuka/asam asetat
Streptomyces griceusstreptomycin
Bacillus thuringiensispestisida alami/biologi
Assbya gossipiivitamin B1
Propionibacterium
Pseudomonas
 (jamur)
vitamin B12
Jamur / Fungi
Aspergillus wentiikedelaikecap
Sacharomyces cereviceaeketelatape
Sacharomyces sakesake
Rhizopus oryzaekedelaitempe
Penicillium notatum
Penicillium chrysogenum
antibiotik penisilin
Aspergillus nigerasam sitrat
Aspergillus niger
Aspergillus oryzae
Bacillus subtilis
 (bakteri)
enzim amilase
Aspergillus oryzae
Bacillus subtilis
 (bakteri)
enzim protease
Aspergillus niger Rhizopus sppezim lipase
Corynebacterium glutamicum(bakteri)lisin (asam amino), asam glutamat –-> bahan MSG
Fusariummikoprotein (protein dari fungi)
Chlorella (alga hijau)
Spirullina (alga biru)
single cell protein (SCP)

Fotosintesis


Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan sinar matahari dan enzim-enzim. Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. 

fotosintesis adalah fungsi utama dari daun. Proses fotosintesis sangat penting bagi kehidupan di bumi karena hampir semua makhluk hidup tergantung pada proses ini. Proses Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi.
Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis (photos berarti cahaya) disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam fotosintesis karbon bebas dari CO2 diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi. Cara lain yang ditempuh organisme untuk mengasimilasi karbon adalah melalui kemosintesis, yang dilakukan oleh sejumlah bakteri belerang.
fotosintesis
Ilustrasi : ridwanaz.com
Fotosintesis pada tumbuhan
Tumbuhan hijau daun bersifat autotrof. Autotrof artinya dapat memasak atau mensintesis makanan langsun. dari senyawa anorganik. Tumbuhan menyerap karbondioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari fotosintesis. Perhatikan persamaan reaksi yang menghasilkan glukosa berikut ini:
6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2
Glukosa dapat digunakan untuk membentuk senyawa organik lain seperti selulosa dan dapat pula digunakan sebagai bahan bakar. Proses ini berlangsung melalui respirasi seluler yang terjadi baik pada hewan maupun tumbuhan. Secara umum reaksi yang terjadi pada respirasiseluler adalah kebalikan dengan persamaan di atas. Pada respirasi, gula (glukosa) dan senyawa lain akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan karbondioksida, air, dan energi kimia.
Tumbuhan menyerap cahaya karena mempunyai pigmen yang disebut klorofil. Pigmen inilah yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil terdapat dalam organel yang disebut kloroplast. klorofil menyerap cahaya yang akan digunakan dalam fotosintesis. Sebagian besar energi fotosintesis dihasilkan di daun tetapi juga dapat terjadi pada organ tumbuhan yang berwarna hijau. Di dalam daun terdapat lapisan sel yang disebut mesofil yang mengandung setengah juta kloroplas setiap milimeter perseginya. Cahaya akan melewati lapisan epidermis tanpa warna dan yang transparan, menuju mesofil, tempat terjadinya sebagian besar proses fotosintesis. Permukaan daun biasanya dilapisi oleh kutikula dari lilin yang bersifat anti air untuk mencegah terjadinya penyerapan sinar matahari ataupun penguapan air yang berlebihan.
Reaksi- Reaksi pada proses fotosintesis
Proses fotosintesis masih terus diselidiki karena masih ada sejumlah tahap yang belum bisa dijelaskan, meskipun sudah sangat banyak yang diketahui tentang proses vital ini. Proses fotosintesis sangat kompleks karena melibatkan semua cabang ilmu pengetahuan alam utama, seperti fisika, kimia, maupun biologi sendiri. Pada tumbuhan, organ utama tempat berlangsungnya fotosintesis adalah daun. Namun secara umum, semua sel yang memiliki kloroplast berpotensi untuk melangsungkan reaksi ini. Di organel inilah tempat berlangsungnya fotosintesis, tepatnya pada bagian stroma. Hasil fotosintesis (disebut fotosintat) biasanya dikirim ke jaringan-jaringan terdekat terlebih dahulu. Pada dasarnya, rangkaian reaksi fotosintesis dapat dibagi menjadi dua bagian utama: reaksi terang (karena memerlukan cahaya) dan reaksi gelap (tidak memerlukan cahaya tetapi memerlukan karbon dioksida).
Reaksi terang
Reaksi terang adalah proses untuk menghasilkan ATP dan reduksi NADPH2. Reaksi ini memerlukan molekul air. Proses diawali dengan penangkapan foton oleh pigmen sebagai antena. Pigmen klorofil menyerap lebih banyak cahaya terlihat pada warna biru (400-450 nanometer) dan merah (650-700 nanometer) dibandingkan hijau (500-600 nanometer). Cahaya hijau ini akan dipantulkan dan ditangkap oleh mata kita sehingga menimbulkan sensasi bahwa daun berwarna hijau. Fotosintesis akan menghasilkan lebih banyak energi pada gelombang cahaya dengan panjang tertentu. Hal ini karena panjang gelombang yang pendek menyimpan lebih banyak energi. Di dalam daun, cahaya akan diserap oleh molekul klorofil untuk dikumpulkan pada pusat-pusat reaksi. Tumbuhan memiliki dua jenis pigmen yang berfungsi aktif sebagai pusat reaksi atau fotosistem yaitu fotosistem II dan fotosistem I. Fotosistem II terdiri dari molekul klorofil yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 680 nanometer, sedangkan fotosistem I 700 nanometer. Kedua fotosistem ini akan bekerja secara simultan dalam fotosintesis, seperti dua baterai dalam senter yang bekerja saling memperkuat.
Fotosintesis dimulai ketika cahaya mengionisasi molekul klorofil pada fotosistem II, membuatnya melepaskan elektron yang akan ditransfer sepanjang rantai transpor elektron. Energi dari elektron ini digunakan untuk fotofosforilasi yang menghasilkan ATP, satuan pertukaran energi dalam sel. Reaksi ini menyebabkan fotosistem II mengalami defisit atau kekurangan elektron yang harus segera diganti. Pada tumbuhan dan alga, kekurangan elektron ini dipenuhi oleh elektron dari hasil ionisasi air yang terjadi bersamaan dengan ionisasi klorofil. Hasil ionisasi air ini adalah elektron dan oksigen. Oksigen dari proses fotosintesis hanya dihasilkan dari air, bukan dari karbon dioksida. Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh C.B. van Neil yang mempelajari bakteri fotosintetik pada tahun 1930-an. Bakteri fotosintetik, selain sianobakteri, menggunakan tidak menghasilkan oksigen karena menggunakan ionisasi sulfida atau hidrogen.
Pada saat yang sama dengan ionisasi fotosistem II, cahaya juga mengionisasi fotosistem I, melepaskan elektron yang ditransfer sepanjang rantai transpor elektron yang akhirnya mereduksi NADP menjadi NADPH.
Reaksi gelap
ATP dan NADPH yang dihasilkan dalam proses fotosintesis memicu berbagai proses biokimia. Pada tumbuhan proses biokimia yang terpicu adalah siklus Calvin yang mengikat karbon dioksida untuk membentuk ribulosa (dan kemudian menjadi gula seperti glukosa). Reaksi ini disebut reaksi gelap karena tidak bergantung pada ada tidaknya cahaya sehingga dapat terjadi meskipun dalam keadaan gelap (tanpa cahaya).
Faktor yang menentukan kecepatan fotosintesis
Beberapa faktor yang menentukan kecepatan fotosintesis:
  1. Cahaya
    Komponen-komponen cahaya yang mempengaruhi kecepatan laju fotosintesis adalahintensitas, kualitas dan lama penyinaran. Intensitas adalah banyaknya cahaya matahari yang diterima sedangkan kualitas adalah panjang gelombang cahaya yang efektif untuk terjadinya fotosintesis.
  2. Konsentrasi karbondioksida
    Semakin banyak karbondioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapat digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis.
  3. Suhu
    Enzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim.
  4. Kadar air
    Kekurangan air atau kekeringan menyebabkan stomata menutup, menghambat penyerapan karbon dioksida sehingga mengurangi laju fotosintesis.
  5. Kadar fotosintat (hasil fotosintesis)
    Jika kadar fotosintat seperti karbohidrat berkurang, laju fotosintesis akan naik. Bila kadar fotosintat bertambah atau bahkan sampai jenuh, laju fotosintesis akan berkurang.
  6. Tahap pertumbuhan
    Penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis jauh lebih tinggi pada tumbuhan yang sedang berkecambah ketimbang tumbuhan dewasa. Hal ini mungkin dikarenakan tumbuhan berkecambah memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh.
Penemuan tentang fotosintesis
Meskipun masih ada langkah-langkah dalam fotosintesis yang belum dipahami, persamaan umum fotosintesis telah diketahui sejak tahun 1800-an. Pada awal tahun 1600-an, seorang dokter dan ahli kimia, Jan van Helmont, seorang Flandria (sekarang bagian dari Belgia), melakukan percobaan untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan massa tumbuhan bertambah dari waktu ke waktu. Dari penelitiannya, Helmont menyimpulkan bahwa massa tumbuhan bertambah hanya karena pemberian air. Tapi pada tahun 1720, ahli botani Inggris, Stephen Hales berhipotesis bahwa pasti ada faktor lain selain air yang berperan. Ia berpendapat faktor itu adalah udara. Joseph Priestley, seorang ahli kimia dan pendeta, menemukan bahwa ketika ia menutup sebuah lilin menyala dengan sebuah toples terbalik, nyalanya akan mati sebelum lilinnya habis terbakar. Ia kemudian menemukan bila ia meletakkan tikus dalam toples terbalik bersama lilin, tikus itu akan mati lemas. Dari kedua percobaan itu, Priestley menyimpulkan bahwa nyala lilin telah “merusak” udara dalam toples itu dan menyebabkan matinya tikus. Ia kemudian menunjukkan bahwa udara yang telah “dirusak” oleh lilin tersebut dapat “dipulihkan” oleh tumbuhan. Ia juga menunjukkan bahwa tikus dapat tetap hidup dalam toples tertutup asalkan di dalamnya juga terdapat tumbuhan. Pada tahun 1778, Jan Ingenhousz, dokter kerajaan Austria, mengulangi eksperimen Priestley. Ia menemukan bahwa cahaya matahari berpengaruh pada tumbuhan sehingga dapat “memulihkan” udara yang “rusak”. Akhirnya di tahun 1796, Jean Senebier, seorang pastor Perancis, menunjukkan bahwa udara yang “dipulihkan” dan “merusak” itu adalah karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan dalam fotosintesis. Tidak lama kemudian, Theodore de Saussure berhasil menunjukkan hubungan antara hipotesis Stephen Hale dengan percobaan-percobaan “pemulihan” udara. Ia menemukan bahwa peningkatan massa tumbuhan bukan hanya karena penyerapan karbon dioksida, tetapi juga oleh pemberian air. Melalui serangkaian eksperimen inilah akhirnya para ahli berhasil menggambarkan persamaan umum dari fotosintesis yang menghasilkan makanan (seperti glukosa).

Terima Kasih telah Membaca Sebuah Artikel Tentang Fotosintesis Teman Teman Bisa Menemukan Artikel Fotosintesis Ini Melaui URL Berikut http://biologi-news.blogspot.com/2012/09/fotosintesis.html, Silahkan Copy Paste Atau bagikan Artikel Fotosintesis Ini, Jika Menurut Teman Teman Artikelnya Menarik dan Bermanfaat, Namun Jangan Lupa Untuk MencantumkanFotosintesis sumbernya yaa ^_^.
Description: Fotosintesis Rating: 4.5 Reviewer: Fitrah Al Anshori - ItemReviewed:Fotosintesis

Bakteri di Atmosfer: Sejumlah Besar Mikroorganisme Ditemukan Hidup dalam Troposfer


Dalam sebuah studi terobosan, para peneliti menggunakan teknik genomik untuk mendokumentasikan keberadaan sejumlah besar mikroorganisme –terutama bakteri– yang hidup pada bagian tengah dan bagian atas troposfer, salah satu bagian atmosfer yang terletak sekitar 4-6 mil di atas permukaan bumi.
Entah apakah mikroorganisme ini memang sudah secara rutin menghuni bagian atmosfer tersebut –mungkin hidup pada senyawa-senyawa karbon yang juga ditemukan di sana– ataukah mereka hanya terangkat ke atas dari permukaan bumi, hal ini masih belum diketahui pasti. Namun tentunya temuan ini menarik minat para ilmuwan atmosfer karena mikroorganisme tersebut dapat berperan dalam pembentukan es yang mempengaruhi cuaca dan iklim. Transportasi jarak jauh bakteri ini juga bisa menjadi menarik untuk dijadikan model transmisi penyakit.
Pendokumentasian mikroorganisme dalam sampel udara ini merupakan bagian dari program Genesis and Rapid Intensification Processes (GRIP) dari NASA, bertujuan meneliti massa udara yang berkaitan dengan badai tropis. Pengambilan sampel dilakukan dengan pesawat DC-8, baik di atas darat maupun di atas lautan, termasuk di kawasan Laut Karibia dan beberapa bagian Samudera Atlantik. Pengambilan sampel berlangsung sebelum, selama dan sesudah terjadinya dua badai besar, Earl dan Karl, pada tahun 2010.
Riset yang didukung NASA dan National Science Foundation ini dipublikasikan secara online dalam jurnalProceedings of the National Academy of Sciences, 28 Januari.
“Kami tak mengira akan menemukan begitu banyak mikroorganisme di dalam troposfer, tempat yang selama ini dianggap sebagai lingkungan yang sulit bagi kehidupan,” kata Kostas Konstantinidis, asisten profesor di Sekolah Teknik Sipil dan Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Georgia. “Spesies di sana tampaknya cukup beragam, tapi tidak semua bakteri berhasil mencapai bagian atas troposfer.”
Pada pesawat, terdapat sebuah sistem filter yang dirancang oleh tim peneliti untuk mengumpulkan partikel –termasuk mikroorganisme– dari udara luar yang memasuki alat pemantau sampel. Filter-filternya kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik genomik yang meliputi polymerase chain reaction (PCR) dan pengurutan gen. Cara ini memungkinkan para peneliti untuk mendeteksi mikroorganisme dan memperkirakan jumlahnya tanpa perlu menggunakan teknik konvensional kultur-sel.
Jika massa udara yang diteliti berasal dari ketinggian di atas laut, maka sebagian besar yang ditemukan pada sampel adalah bakteri laut. Sedangkan massa udara yang berasal dari ketinggian di atas darat, sebagian besar terdiri dari bakteri darat. Para peneliti juga menemukan bukti kuat bahwa badai memiliki dampak yang signifikan terhadap distribusi dan dinamika populasi mikroorganisme.
Hasil studi menunjukkan bahwa sel-sel bakteri mewakili rata-rata sekitar 20 persen dari jumlah total partikel yang terdeteksi dalam rentang jarak 0,25 hingga 1 mikron per diameter. Setidaknya dalam satu urutan besar, bakteri melampaui jumlah jamur dalam sampel, dan para peneliti mendeteksi 17 jenis taksa bakteri –termasuk beberapa taksa yang mampu memetabolisme senyawa-senyawa karbon yang terkandung di atmosfer– seperti asam oksalat.
“Mikroorganisme bisa memiliki dampak yang sebelumnya tidak diketahui terhadap pembentukan awan dengan cara melengkapi (atau menggantikan) partikel abiotik yang biasanya berfungsi sebagai inti untuk membentuk kristal es,” kata Athanasios Nenes, profesor di Sekolah Teknik Ilmu Bumi dan Atmosfer dan Sekolah Teknik Kimia dan Biomolekuler.
“Meski tak ada debu atau bahan-bahan lain yang mampu menyediakan inti yang baik untuk pembentukan es, namun hanya dengan memiliki sejumlah kecil mikroorganisme ini, pembentukan es dapat terfalisitasi di ketinggian tersebut serta menarik kelembaban di sekitarnya,” kata Nenes. “Jika ukuran mereka tepat untuk membentuk es, maka mereka bisa mempengaruhi awan di sekitar mereka.
Mikroorganisme ini sepertinya mencapai troposfer melalui proses yang sama dengan proses pelepasan debu dan garam laut ke angkasa. “Karena ada begitu banyak bakteri dan bahan organik di permukaan laut, bakteri bisa saja ikut terbawa ke atas oleh pelepasan yang terjadi di laut,” kata Nenes.
Riset ini melibatkan para ahli mikrobiologi, pemodel atmosfer dan peneliti lingkungan hidup yang menggunakan teknologi terbaru untuk mempelajari DNA. Di masa mendatang, para peneliti berencana meneliti apakah jenis bakteri tertentu bisa lebih fit dibanding jenis lain dalam bertahan hidup di ketinggian tersebut. Para peneliti juga ingin memahami lebih jauh peran mikroorganisme – dan memastikan apakah mereka memang menjalankan fungsi metabolisme di dalam troposfer.
“Bagi organisme-organisme ini, mungkin kondisinya tidak sekeras itu,” kata Konstantinidis. “Saya takkan terkejut jika ada kehidupan aktif dan bertumbuh di awan, tapi untuk sekarang, itu masih belum bisa diketahui dengan pasti.”
Peneliti-peneliti lain sebelumnya hanya mengumpulkan sampel biologis dari puncak gunung atau dari sampel-sampel salju, sedangkan untuk mengumpulkan bahan biologis dari pesawat jet, seperti yang dilakukan dalam studi ini, diperlukan tatanan eksperimental yang sama sekali baru. Para peneliti juga harus mengoptimalkan beberapa protokol untuk mengekstraksi DNA dari berbagai tingkatan massa biologis yang jauh lebih rendah dibanding apa yang biasanya mereka pelajari dari tanah atau danau.
“Kami sudah menunjukkan bahwa teknik kami ini berhasil, dan bahwa kami bisa menemukan beberapa informasi yang menarik,” kata Nenes. “Sebuah bagian besar dari partikel atmosfer yang secara tradisi selalu diduga sebagai debu atau garam laut, mungkin sebenarnya adalah bakteri. Pada titik ini kami hanya melihat apa yang ada di atas sana. Jadi, ini hanyalah awal dari apa yang kami harap bisa lakukan.”
Kredit: Institut Teknologi Georgia
Jurnal: Natasha DeLeon-Rodriguez, Terry L. Lathem, Luis M. Rodriguez-R, James M. Barazesh, Bruce E. Anderson, Andreas J. Beyersdorf, Luke D. Ziemba, Michael Bergin, Athanasios Nenes, Konstantinos T. Konstantinidisa. Microbiome of the upper troposphere: Species composition and prevalence, effects of tropical storms, and atmospheric implicationsProceedings of the National Academy of Sciences, 2013 DOI: 10.1073/pnas.1212089110