Minggu, 24 Februari 2013

Bakteri di Atmosfer: Sejumlah Besar Mikroorganisme Ditemukan Hidup dalam Troposfer


Dalam sebuah studi terobosan, para peneliti menggunakan teknik genomik untuk mendokumentasikan keberadaan sejumlah besar mikroorganisme –terutama bakteri– yang hidup pada bagian tengah dan bagian atas troposfer, salah satu bagian atmosfer yang terletak sekitar 4-6 mil di atas permukaan bumi.
Entah apakah mikroorganisme ini memang sudah secara rutin menghuni bagian atmosfer tersebut –mungkin hidup pada senyawa-senyawa karbon yang juga ditemukan di sana– ataukah mereka hanya terangkat ke atas dari permukaan bumi, hal ini masih belum diketahui pasti. Namun tentunya temuan ini menarik minat para ilmuwan atmosfer karena mikroorganisme tersebut dapat berperan dalam pembentukan es yang mempengaruhi cuaca dan iklim. Transportasi jarak jauh bakteri ini juga bisa menjadi menarik untuk dijadikan model transmisi penyakit.
Pendokumentasian mikroorganisme dalam sampel udara ini merupakan bagian dari program Genesis and Rapid Intensification Processes (GRIP) dari NASA, bertujuan meneliti massa udara yang berkaitan dengan badai tropis. Pengambilan sampel dilakukan dengan pesawat DC-8, baik di atas darat maupun di atas lautan, termasuk di kawasan Laut Karibia dan beberapa bagian Samudera Atlantik. Pengambilan sampel berlangsung sebelum, selama dan sesudah terjadinya dua badai besar, Earl dan Karl, pada tahun 2010.
Riset yang didukung NASA dan National Science Foundation ini dipublikasikan secara online dalam jurnalProceedings of the National Academy of Sciences, 28 Januari.
“Kami tak mengira akan menemukan begitu banyak mikroorganisme di dalam troposfer, tempat yang selama ini dianggap sebagai lingkungan yang sulit bagi kehidupan,” kata Kostas Konstantinidis, asisten profesor di Sekolah Teknik Sipil dan Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Georgia. “Spesies di sana tampaknya cukup beragam, tapi tidak semua bakteri berhasil mencapai bagian atas troposfer.”
Pada pesawat, terdapat sebuah sistem filter yang dirancang oleh tim peneliti untuk mengumpulkan partikel –termasuk mikroorganisme– dari udara luar yang memasuki alat pemantau sampel. Filter-filternya kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik genomik yang meliputi polymerase chain reaction (PCR) dan pengurutan gen. Cara ini memungkinkan para peneliti untuk mendeteksi mikroorganisme dan memperkirakan jumlahnya tanpa perlu menggunakan teknik konvensional kultur-sel.
Jika massa udara yang diteliti berasal dari ketinggian di atas laut, maka sebagian besar yang ditemukan pada sampel adalah bakteri laut. Sedangkan massa udara yang berasal dari ketinggian di atas darat, sebagian besar terdiri dari bakteri darat. Para peneliti juga menemukan bukti kuat bahwa badai memiliki dampak yang signifikan terhadap distribusi dan dinamika populasi mikroorganisme.
Hasil studi menunjukkan bahwa sel-sel bakteri mewakili rata-rata sekitar 20 persen dari jumlah total partikel yang terdeteksi dalam rentang jarak 0,25 hingga 1 mikron per diameter. Setidaknya dalam satu urutan besar, bakteri melampaui jumlah jamur dalam sampel, dan para peneliti mendeteksi 17 jenis taksa bakteri –termasuk beberapa taksa yang mampu memetabolisme senyawa-senyawa karbon yang terkandung di atmosfer– seperti asam oksalat.
“Mikroorganisme bisa memiliki dampak yang sebelumnya tidak diketahui terhadap pembentukan awan dengan cara melengkapi (atau menggantikan) partikel abiotik yang biasanya berfungsi sebagai inti untuk membentuk kristal es,” kata Athanasios Nenes, profesor di Sekolah Teknik Ilmu Bumi dan Atmosfer dan Sekolah Teknik Kimia dan Biomolekuler.
“Meski tak ada debu atau bahan-bahan lain yang mampu menyediakan inti yang baik untuk pembentukan es, namun hanya dengan memiliki sejumlah kecil mikroorganisme ini, pembentukan es dapat terfalisitasi di ketinggian tersebut serta menarik kelembaban di sekitarnya,” kata Nenes. “Jika ukuran mereka tepat untuk membentuk es, maka mereka bisa mempengaruhi awan di sekitar mereka.
Mikroorganisme ini sepertinya mencapai troposfer melalui proses yang sama dengan proses pelepasan debu dan garam laut ke angkasa. “Karena ada begitu banyak bakteri dan bahan organik di permukaan laut, bakteri bisa saja ikut terbawa ke atas oleh pelepasan yang terjadi di laut,” kata Nenes.
Riset ini melibatkan para ahli mikrobiologi, pemodel atmosfer dan peneliti lingkungan hidup yang menggunakan teknologi terbaru untuk mempelajari DNA. Di masa mendatang, para peneliti berencana meneliti apakah jenis bakteri tertentu bisa lebih fit dibanding jenis lain dalam bertahan hidup di ketinggian tersebut. Para peneliti juga ingin memahami lebih jauh peran mikroorganisme – dan memastikan apakah mereka memang menjalankan fungsi metabolisme di dalam troposfer.
“Bagi organisme-organisme ini, mungkin kondisinya tidak sekeras itu,” kata Konstantinidis. “Saya takkan terkejut jika ada kehidupan aktif dan bertumbuh di awan, tapi untuk sekarang, itu masih belum bisa diketahui dengan pasti.”
Peneliti-peneliti lain sebelumnya hanya mengumpulkan sampel biologis dari puncak gunung atau dari sampel-sampel salju, sedangkan untuk mengumpulkan bahan biologis dari pesawat jet, seperti yang dilakukan dalam studi ini, diperlukan tatanan eksperimental yang sama sekali baru. Para peneliti juga harus mengoptimalkan beberapa protokol untuk mengekstraksi DNA dari berbagai tingkatan massa biologis yang jauh lebih rendah dibanding apa yang biasanya mereka pelajari dari tanah atau danau.
“Kami sudah menunjukkan bahwa teknik kami ini berhasil, dan bahwa kami bisa menemukan beberapa informasi yang menarik,” kata Nenes. “Sebuah bagian besar dari partikel atmosfer yang secara tradisi selalu diduga sebagai debu atau garam laut, mungkin sebenarnya adalah bakteri. Pada titik ini kami hanya melihat apa yang ada di atas sana. Jadi, ini hanyalah awal dari apa yang kami harap bisa lakukan.”
Kredit: Institut Teknologi Georgia
Jurnal: Natasha DeLeon-Rodriguez, Terry L. Lathem, Luis M. Rodriguez-R, James M. Barazesh, Bruce E. Anderson, Andreas J. Beyersdorf, Luke D. Ziemba, Michael Bergin, Athanasios Nenes, Konstantinos T. Konstantinidisa. Microbiome of the upper troposphere: Species composition and prevalence, effects of tropical storms, and atmospheric implicationsProceedings of the National Academy of Sciences, 2013 DOI: 10.1073/pnas.1212089110




Tidak ada komentar:

Posting Komentar